Kisah Tiga Negarawan Jepang dan Pelajaran Politik bagi Generasi Muda


PADA suatu zaman di tanah Nippon yang gemilang terhamparlah tiga legenda negarawan: Nobunaga, Ieyasu, dan Hideyoshi. Mereka samurai yang tegar, yang hidup dalam era ke-Shogunan, sebelum kilau Restorasi Meiji yang menyinari Jepang pada 1866. Mereka fondasi pertama bagi kemegahan Jepang yang kini kita saksikan.

Baca juga: Belajar dari Sejarah: Kisah Persahabatan Abdurrahman Baswedan dan Liem Koen Hian

Nobunaga, dengan karakter yang kuat, merupakan sosok tegas. Ieyasu, sebagai seorang pemikir yang penyabar, merenungkan segala langkah dengan cermat. Sementara itu, Hideyoshi, yang selalu menyiratkan inovasi, berdaya tawar tinggi dalam mencapai tujuannya.

Mereka bukan sekadar tokoh bersejarah. Mereka cahaya kebijaksanaan bangsa Jepang yang terus bersinar hingga saat ini. Ajaran-ajaran mereka meresap dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, bahkan konon diajarkan di sekolah-sekolah di Jepang.

Baca juga: KPU serta Sikap (Membangkang) pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Suatu ketika ketiga negarawan samurai itu diuji dengan pertanyaan sederhana: “Apa yang akan kalian lakukan jika ada seekor burung yang tak mampu bersiul dan bernyanyi?” Pertanyaan itu, meski kelihatannya sederhana, mengundang jawaban yang tak terduga, sesuai dengan kepribadian masing-masing, sebagaimana yang kita temukan dalam pembukaan novel Taiko (1967) karya Eiji Yoshikawa.

Baca juga: Cermin Retak Sosialisasi Politik

Nobunaga, dengan tegas dan lugas, menyatakan bahwa burung yang tak berguna seharusnya segera diakhiri hidupnya. Menurutnya, sesuatu yang tak berguna tak layak dipertahankan. Dalam pandangan Nobunaga, leher burung itu harus segera terpisah dari tubuhnya.

Sementara itu, Ieyasu menjawab dengan bijak dan sabar. Menurutnya, jika seekor burung tak mampu bersiul dan bernyanyi, kita harus bersabar menunggu waktu ketika ia akan melantunkan lagu indahnya. Kesabaran adalah kuncinya, kata Ieyasu.

Tak kalah unik, Hideyoshi memberikan jawaban yang tak terduga. Baginya, jika burung tak mampu bersiul dan bernyanyi, kita harus berusaha sungguh-sungguh untuk mengilhaminya. Imajinasi dan inisiatif merupakan jalan menuju harmoni musik yang hilang.

Hasil dari jawaban ketiga negarawan samurai itu merefleksikan karakter dan kebijaksanaan masing-masing. Nobunaga, dengan tegas; Ieyasu, yang penuh kesabaran; dan Hideyoshi, yang kreatif dan selalu mencari solusi.

Tiga karakter tersebut telah memberikan contoh watak ideal bagi bangsa Jepang, dan memberikan petunjuk bagi generasi penerus tentang bagaimana memajukan dan menghormati negeri mereka.

Pertanyaan itu juga bisa disampaikan kepada gen Z di Indonesia: “Bagaimana mengambil inisiasi kreatif dalam waktu yang tepat?”

“Sesuatu yang tak berguna, tak layak dipertahankan” merupakan ungkapan bijak dari Oda Nobunaga. Ungkapan itu menyoroti pentingnya kebermaknaan dan relevansi dalam sebuah upaya. Dalam konteks ini, kita dapat merenungkan mengapa saat ini merupakan waktu yang tepat bagi anak muda untuk merintis suatu perjalanan politik, salah satunya bisa kita dapati lewat Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia.

Dengan mengamati perjalanan Kaesang, kita melihat seorang pemuda yang telah membuktikan diri di berbagai bidang, khususnya di bidang entertain dan bisnis. Namun, mengapa ia memilih untuk terjun ke dunia politik? Dalam sebuah negara yang mungkin sering kali didominasi oleh pemimpin yang lebih tua, apa yang dapat ia tawarkan sebagai pemimpin muda?

Kesabaran merupakan salah satu kualitas yang mungkin tak dimiliki banyak anak muda. Sebagaimana tercermin dalam ungkapan Ieyasu: “menunggu waktu ketika ia akan melantunkan lagu indahnya.” Kaesang barangkali memahami bahwa perubahan tidak selalu datang dengan cepat dan perlu kesabaran untuk mempengaruhinya. Ia telah memanfaatkan platform media sosialnya dan melibatkan diri dalam diskusi-diskusi publik, membangun panggung yang memungkinkan suaranya didengar.

Selain itu, imajinasi dan inisiatif merupakan kunci yang membuka pintu perubahan yang konstruktif. Kaesang telah menunjukkan imajinasinya dengan berbicara tentang berbagai isu yang mempengaruhi masyarakat Indonesia, seperti budaya pop yang ia perlihatkan melalui platform Youtubenya. Ia telah mengambil inisiatif untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan populer yang sedang dihadapi oleh negara ini dengan gaya santai, penuh canda, dan dekat dengan generasi muda.

Dalam era ketika pemimpin muda memiliki akses kepada sumber daya informasi dan teknologi yang tak terbatas, Kaesang telah menunjukkan bahwa generasi muda dapat memiliki dampak yang signifikan dalam politik. Dengan inisiatifnya, ia telah menunjukkan bahwa kontribusi kepada masyarakat bahwa sesuatu menjadi mungkin untuk diwujudkan asalkan ada keinginan dan tekad untuk mencapainya.

Hal itu menjadikan Kaesang sebagai membawa angin segar dalam dunia politik Indonesia. Seperti kata tiga legenda negarawan Jepang, anak muda harus tahu, apa yang berguna saat ini. Dalam konteks public interest yang ada di Indonesia, khususnya bagi kalangan muda, bersabar menunggu waktu yang tepat, serta dengan kolaborasi imajinatif dari inisiasi yang dapat berguna bagi publik.

PADA suatu zaman di tanah Nippon yang gemilang terhamparlah tiga legenda negarawan: Nobunaga, Ieyasu, dan Hideyoshi. Mereka samurai yang tegar, yang hidup dalam era ke-Shogunan, sebelum kilau Restorasi Meiji yang menyinari Jepang pada 1866. Mereka fondasi pertama bagi kemegahan Jepang yang kini kita saksikan.

Baca juga: Belajar dari Sejarah: Kisah Persahabatan Abdurrahman Baswedan dan Liem Koen Hian

Nobunaga, dengan karakter yang kuat, merupakan sosok tegas. Ieyasu, sebagai seorang pemikir yang penyabar, merenungkan segala langkah dengan cermat. Sementara itu, Hideyoshi, yang selalu menyiratkan inovasi, berdaya tawar tinggi dalam mencapai tujuannya.

Mereka bukan sekadar tokoh bersejarah. Mereka cahaya kebijaksanaan bangsa Jepang yang terus bersinar hingga saat ini. Ajaran-ajaran mereka meresap dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, bahkan konon diajarkan di sekolah-sekolah di Jepang.

Baca juga: KPU serta Sikap (Membangkang) pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Suatu ketika ketiga negarawan samurai itu diuji dengan pertanyaan sederhana: “Apa yang akan kalian lakukan jika ada seekor burung yang tak mampu bersiul dan bernyanyi?” Pertanyaan itu, meski kelihatannya sederhana, mengundang jawaban yang tak terduga, sesuai dengan kepribadian masing-masing, sebagaimana yang kita temukan dalam pembukaan novel Taiko (1967) karya Eiji Yoshikawa.

Baca juga: Cermin Retak Sosialisasi Politik

Nobunaga, dengan tegas dan lugas, menyatakan bahwa burung yang tak berguna seharusnya segera diakhiri hidupnya. Menurutnya, sesuatu yang tak berguna tak layak dipertahankan. Dalam pandangan Nobunaga, leher burung itu harus segera terpisah dari tubuhnya.

Sementara itu, Ieyasu menjawab dengan bijak dan sabar. Menurutnya, jika seekor burung tak mampu bersiul dan bernyanyi, kita harus bersabar menunggu waktu ketika ia akan melantunkan lagu indahnya. Kesabaran adalah kuncinya, kata Ieyasu.

Tak kalah unik, Hideyoshi memberikan jawaban yang tak terduga. Baginya, jika burung tak mampu bersiul dan bernyanyi, kita harus berusaha sungguh-sungguh untuk mengilhaminya. Imajinasi dan inisiatif merupakan jalan menuju harmoni musik yang hilang.

Hasil dari jawaban ketiga negarawan samurai itu merefleksikan karakter dan kebijaksanaan masing-masing. Nobunaga, dengan tegas; Ieyasu, yang penuh kesabaran; dan Hideyoshi, yang kreatif dan selalu mencari solusi.

Tiga karakter tersebut telah memberikan contoh watak ideal bagi bangsa Jepang, dan memberikan petunjuk bagi generasi penerus tentang bagaimana memajukan dan menghormati negeri mereka.

Pertanyaan itu juga bisa disampaikan kepada gen Z di Indonesia: “Bagaimana mengambil inisiasi kreatif dalam waktu yang tepat?”

“Sesuatu yang tak berguna, tak layak dipertahankan” merupakan ungkapan bijak dari Oda Nobunaga. Ungkapan itu menyoroti pentingnya kebermaknaan dan relevansi dalam sebuah upaya. Dalam konteks ini, kita dapat merenungkan mengapa saat ini merupakan waktu yang tepat bagi anak muda untuk merintis suatu perjalanan politik, salah satunya bisa kita dapati lewat Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia.

Dengan mengamati perjalanan Kaesang, kita melihat seorang pemuda yang telah membuktikan diri di berbagai bidang, khususnya di bidang entertain dan bisnis. Namun, mengapa ia memilih untuk terjun ke dunia politik? Dalam sebuah negara yang mungkin sering kali didominasi oleh pemimpin yang lebih tua, apa yang dapat ia tawarkan sebagai pemimpin muda?

Kesabaran merupakan salah satu kualitas yang mungkin tak dimiliki banyak anak muda. Sebagaimana tercermin dalam ungkapan Ieyasu: “menunggu waktu ketika ia akan melantunkan lagu indahnya.” Kaesang barangkali memahami bahwa perubahan tidak selalu datang dengan cepat dan perlu kesabaran untuk mempengaruhinya. Ia telah memanfaatkan platform media sosialnya dan melibatkan diri dalam diskusi-diskusi publik, membangun panggung yang memungkinkan suaranya didengar.

Selain itu, imajinasi dan inisiatif merupakan kunci yang membuka pintu perubahan yang konstruktif. Kaesang telah menunjukkan imajinasinya dengan berbicara tentang berbagai isu yang mempengaruhi masyarakat Indonesia, seperti budaya pop yang ia perlihatkan melalui platform Youtubenya. Ia telah mengambil inisiatif untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan populer yang sedang dihadapi oleh negara ini dengan gaya santai, penuh canda, dan dekat dengan generasi muda.

Dalam era ketika pemimpin muda memiliki akses kepada sumber daya informasi dan teknologi yang tak terbatas, Kaesang telah menunjukkan bahwa generasi muda dapat memiliki dampak yang signifikan dalam politik. Dengan inisiatifnya, ia telah menunjukkan bahwa kontribusi kepada masyarakat bahwa sesuatu menjadi mungkin untuk diwujudkan asalkan ada keinginan dan tekad untuk mencapainya.

Hal itu menjadikan Kaesang sebagai membawa angin segar dalam dunia politik Indonesia. Seperti kata tiga legenda negarawan Jepang, anak muda harus tahu, apa yang berguna saat ini. Dalam konteks public interest yang ada di Indonesia, khususnya bagi kalangan muda, bersabar menunggu waktu yang tepat, serta dengan kolaborasi imajinatif dari inisiasi yang dapat berguna bagi publik.



Leave a Comment