Baru 55% Puskesmas yang Miliki Layanan Kesehatan Jiwa


BERDASARKAN data World Health Organization (WHO), 1 dari setiap 8 orang di dunia hidup dengan kondisi kesehatan jiwa tertentu. Hal itu tidak bisa dianggap sepele, pasalnya orang dengan masalah kesehatan jiwa meninggal lebih cepat 10 sampai 20 tahun.

Dari sisi ekonomi, rata-rata negara mengalami kerugian hingga US$1 triliun karena masalah kesehatan jiwa. Namun, WHO juga mencatat bahwa alokasi dana untuk kesehatan jiwa rata-rata kurang dari 2% dari total anggaran kesehatan negara dan 80% dari 2% tersebut dianggarkan untuk pembiayaan rumah sakit jiwa.

Untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa di masyarakat, Kementerian Kesehatan telah memberikan pelayanan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya, hingga 2022 ada sebanyak 5.694 Puskesmas di 34 provinsi yang telah memiliki layanan kesehatan jiwa. Angka itu sebesar 55,5% dari total keseluruhan puskesmas di Indonesia.

Baca juga: UI Jajaki Pembentukan Komite Pencegahan Gangguan Kesehatan Jiwa

“Cara mengaksesnya tentu kalau punya BPJS dan dia ke puskesmas, tentu gratis dan bisa berlanjut ke rujukan selanjutnya dengan ditanggung BPJS Kesehatan,” kata Azhar saat dihubungi, Sabtu (16/12).

Adapun, jumlah Puskesmas dengan pelayanan kesehatan jiwa paling banyak ada di wilayah Jawa Barat (902), Jawa Timur (818), Aceh (309), Jawa Tengah (280), Kalimantan Selatan (234) dan Sumatra Selatan (229).

Baca juga: Perubahan Perilaku Bisa Jadi Tanda Remaja Butuh Bantuan

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Maria Endang Sumiwi juga menyampaikan bahwa saat ini seluruh dunia sedang melakukan transformasi kesehatan jiwa untuk mendekatkan akses dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.

“Yang harus dikejar adalah promotif preventif, bukan kuratif. Yang harus dikejar adalah sisi hulu bukan hilir.” ucap Endang.

Jika strategi ini tidak dilaksanakan dengan tepat, maka fokus penanganan akan berada di sisi hilir, sehingga harapan menjaga kesehatan orang agar tidak mengalami gangguan kesehatan mental akan terlambat.

Adapun upaya promotif preventif yang dimaksud yaitu memberikan edukasi kepada masyarakat secara masif terkait pentingnya menjaga kesehatan jiwa.

Kemudian perlu adanya skrining awal agar gejala gangguan kesehatan jiwa dapat diatasi sebelum menjadi parah. Mulai dari lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, perlu dirumuskan bagaimana cara untuk mendeteksi gejala gangguan kesehatan mental lebih awal. (Z-3)

BERDASARKAN data World Health Organization (WHO), 1 dari setiap 8 orang di dunia hidup dengan kondisi kesehatan jiwa tertentu. Hal itu tidak bisa dianggap sepele, pasalnya orang dengan masalah kesehatan jiwa meninggal lebih cepat 10 sampai 20 tahun.

Dari sisi ekonomi, rata-rata negara mengalami kerugian hingga US$1 triliun karena masalah kesehatan jiwa. Namun, WHO juga mencatat bahwa alokasi dana untuk kesehatan jiwa rata-rata kurang dari 2% dari total anggaran kesehatan negara dan 80% dari 2% tersebut dianggarkan untuk pembiayaan rumah sakit jiwa.

Untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa di masyarakat, Kementerian Kesehatan telah memberikan pelayanan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya, hingga 2022 ada sebanyak 5.694 Puskesmas di 34 provinsi yang telah memiliki layanan kesehatan jiwa. Angka itu sebesar 55,5% dari total keseluruhan puskesmas di Indonesia.

Baca juga: UI Jajaki Pembentukan Komite Pencegahan Gangguan Kesehatan Jiwa

“Cara mengaksesnya tentu kalau punya BPJS dan dia ke puskesmas, tentu gratis dan bisa berlanjut ke rujukan selanjutnya dengan ditanggung BPJS Kesehatan,” kata Azhar saat dihubungi, Sabtu (16/12).

Adapun, jumlah Puskesmas dengan pelayanan kesehatan jiwa paling banyak ada di wilayah Jawa Barat (902), Jawa Timur (818), Aceh (309), Jawa Tengah (280), Kalimantan Selatan (234) dan Sumatra Selatan (229).

Baca juga: Perubahan Perilaku Bisa Jadi Tanda Remaja Butuh Bantuan

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Maria Endang Sumiwi juga menyampaikan bahwa saat ini seluruh dunia sedang melakukan transformasi kesehatan jiwa untuk mendekatkan akses dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.

“Yang harus dikejar adalah promotif preventif, bukan kuratif. Yang harus dikejar adalah sisi hulu bukan hilir.” ucap Endang.

Jika strategi ini tidak dilaksanakan dengan tepat, maka fokus penanganan akan berada di sisi hilir, sehingga harapan menjaga kesehatan orang agar tidak mengalami gangguan kesehatan mental akan terlambat.

Adapun upaya promotif preventif yang dimaksud yaitu memberikan edukasi kepada masyarakat secara masif terkait pentingnya menjaga kesehatan jiwa.

Kemudian perlu adanya skrining awal agar gejala gangguan kesehatan jiwa dapat diatasi sebelum menjadi parah. Mulai dari lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, perlu dirumuskan bagaimana cara untuk mendeteksi gejala gangguan kesehatan mental lebih awal. (Z-3)



Leave a Comment